
wartamoro.com , Lembaga Penelitian dan Innovasi Nasional (BRIN) (Brin) BRIN Dia menyatakan setuju dengan keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mengalokasikan 1.000 ekor hewan tersebut. burung hantu di Kabupaten Majalengka guna menangani serangan hama tikus di persawahan.
Sudarmaji dari Puslitbangtan Pangan BRIN menyebut bahwa kebijakan tersebut adalah wujud konkret pendukung untuk mendorong implementasi kontrol hama tikus yang berkelanjutan dan ramah terhadap lingkungan.
Ahli hama tikus tersebut mengatakan bahwa burung hantu sudah terkenal secara luas sebagai pemangsa atau lawan alamiah bagi hama tikus sawah yang sangat efisien. Dia menambahkan, “Penerapan ini di area-area berpotensi tinggi untuk serangan hama tikus dapat menjadi lebih berhasil jika disinkronisasikan dengan metode kontrol hama tikus lainnya yang sebelumnya telah tersedia,” jelas Sudarmaji kepada Tempo , Khamis, 24 April 2025.
Menurut pendapatnya, di Indonesia kontrol hama tikus sebaiknya menggunakan metode integratif yakni Pengendalian Hama Tikus Terpadu (PHTT). Proses ini meliputi penanganan skala luasan yang dimulai sedari awal dan dipertahankan secara kontinu. Ini mencakup menanam serentak, menjaga kebersihan lingkungan, serta memilih teknologi tepat guna misalnya penyemprotan masif, disinfeksi sarang, pasang sistem jebakan pagar (SJP/SJLP), dan juga meningkatkan fungsi predator alami seperti burung hantu.
Menurut Sudarmaji, ada 54 spesies burung hantu di Indonesia dan 16 di antaranya termasuk dalam daftar perlindungan menurut Peraturan Menteri Lingkaran Hidup dan Kehutanan Nomor 92 Tahun 2018, seperti misalnya beberapa tipe Otus sp, Ninox sp, serta Titi sp. Dia menjelaskan bahwa salah satu burung hantu yang cukup adaptif di habitat sawah dan area perdesaan adalah burung hantu serak Jawa ( Tyto alba "). Burung ini sering dipelihara oleh para petani dan dimanfaatkan sebagai pemangsa alami untuk mengontrol populasi tikus di sawah," jelasnya.
Manfaat dari penggunaan burung hantu, sebagaimana dikatakan oleh Sudarmaji, termasuk metode kontrol yang lebih hijau dibandingkan dengan pemberian racun tikus yang bisa mengotori lingkungan serta memiliki dampak merugikan pada spesies tidak bertujuan.
Ia menyebutkan burung hantu dapat memangsa tikus secara efektif 2-4 ekor setiap hari. "Berkembang biak secara alami dan mempunyai umur yang relatif panjang (dapat mencapai lebih dari lima tahun) jika ekosistemnya menunjang," kata dia.
Ia juga menyebutkan burung hantu kompatibel digunakan bersinergi dengan teknologi pengendalian hama tikus lainnya kecuali dengan rodentisida antikoagulan (brodifakum).
Sudarmaji mengatakan tidak semua areal pertanian cocok untuk tempat tinggal/domisili burung hantu. Menurut dia, setidaknya ada dua faktor utama yang memengaruhinya, yaitu ketersediaan pakan atau mangsa utama, yaitu tikus, dan ketersediaan habitat untuk berlindung dan bersarang yang sesuai.
"Daerah pertanian atau sawah yang cocok untuk introduksi burung hantu terutama adalah daerah endemik hama tikus dengan lokasi yang berbatasan dengan perkampungan, sawah yang berbatasan dengan kebun/perkebunan dan sawah yang berbatasan dengan hutan," kata dia.
Menurut Sumardji, di antara daerah pertanian, perkebunan kelapa sawit adalah ekosistem yang sangat cocok dan ideal untuk introduksi burung hantu. Hal tersebut karena habitat kebun kelapa sawit sangat cocok untuk tempat tinggal dan bersarang burung hantu.
Di daerah tersebut ketersediaan pakan utama burung hantu, yaitu jenis tikus pohon (Rattus tiomanicus) yang merupakan hama kelapa sawit, jumlahnya sangat melimpah sepanjang tahun. "Selain itu keragaman pakan alternatif burung hantu di daerah kelapa sawit juga lebih banyak tersedia," kata dia.
Burung hantu bersifat nocturnal (aktif malam hari) dan bersifat liar. Sumardji menyebutkan pelepasan burung hantu tidak akan serta merta dapat menetap di daerah lokasi pelepasan, tetapi mereka akan menyebar mencari lokasi yang sesuai untuk menetap.
Menurutnya, memasang atau menempatkan rumah burung hantu (rubuha) di lokasi pepohonan daerah perkampungan yang berbatasan dengan persawahan lebih disukai dibandingkan dengan rubuha yang ditempatkan di tengah persawahan. "Hal tersebut akan membantu burung hantu mendapatkan sarangnya sehingga tidak pergi jauh dari lokasi pelepasan, karena burung hantu tidak dapat membuat sarang sendiri."
Sumardji mengatakan jumlah burung hantu yang dilepas di setiap lokasi harus mempertimbangkan tingkat populasi hama tikus sawah sebagai mangsanya. Pada daerah-daerah endemik hama tikus dapat dilepaskan satu pasang burung hantu per 10-15 hektare. "Secara naluriah burung hantu akan bermigrasi ke tempat lain jika pakan utama (tikus sawah) di habitatnya sudah sangat berkurang atau tidak tersedia lagi," kata dia.
Secara teknis introduksi burung hantu ini dapat dilaksanakan kapan saja, mengingat hal seperti ini telah banyak dilakukan di berbagai daerah di Pulau Jawa. Menurut dia, untuk melestarikan burung hantu diperlukan peningkatan pemahaman petani tentang konsep pengendalian hama tikus dan bio ekologi burung hantu, serta perlu ada regulasi aturan perlindungan terhadap burung hantu.
"Namun demikian penelitian tentu sangat diperlukan untuk mendukung dan mengevaluasi keberhasilan program penggunaan burung hantu untuk pengendalian hama tikus sawah di daerah tersebut," ujarnya.
Posting Komentar