
wartamoro.com Apa arti ODOL? hal yang membuat pemerintah segera ciptakan zero ODOL namun didemo ribuan sopir truk.
Beberapa hari terakhir beberapa kota besar dipenuhi aksi sopir truk yang memejeng truk mereka di jalan.
Hal ini sebagai bentuk penolakan revisi UU No.22 Tahun 2009 tentang penindakan ODOL.
Baik di Surabaya, Kediri, Trenggalek hingga di sepanjang jalan Solo Raya sempat mengakibatkan kemacetan.
Lantas apa arti ODOL sebenarnya?
ODOL merupakan singkatan dari Over Dimension/Over Loading .
Over Dimension merupakan suatu kondisi dimana dimensi pengangkut kendaraan tidak sesuai dengan standar produksi dan ketentuan peraturan atau sudah dimodifikasi.
Kondisi truk yang membawa muatan melebihi kapasitas disebut over dimension.
Namun bukan berarti memodifikasi kendaraan semacam itu dilarang.
Modifikasi dimensi kendaraan sebenarnya diperbolehkan, asalkan melakukan uji tipe.
RUU ODOL mengacu pada peraturan yang tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Dalam Pasal 227 UU Nomor 22 tahun 2009, sanksi yang diberikan untuk pengendara yang tidak melakukan uji tipe
setelah memodifikasi kendaraannya adalah mendapat denda sebesar Rp 24.000.000 atau kurungan paling lama 1 tahun.
Sehingga apabila kendaraan tidak melalui uji tipe setelah modifikasi makan akan dikenakan sanksi.
Selanjutnya, Over Loading adalah suatu kondisi dimana kendaraan mengangkut muatan yang melebihi batas beban yang ditetapkan.
Berat maksimum kendaraan berikut muatannya disebut sebagai Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI).
Batas JBI akan semakin besar jika jumlah sumbu kendaraan semakin banyak.
Sebagai contoh truk engkel bersumbu ganda dengan konfigurasi 1-1 JBI-nya adalah 12 ton.
Sedangkan truk tronton dengan 6 sumbu JBI-nya bisa mencapai 43 ton.
Kakorlantas Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho menegaskan pelanggaran ODOL disebut sebagai tindak pidana kejahatan.
“Pelanggaran overload itu ditilang. Tapi kalau over dimensi, itu sudah masuk ke ranah tindak pidana kejahatan,” kata Agus saat Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Korlantas di Gedung Tribrata, Jakarta, Kamis (12/6/2025).
Pasalnya dianggap berdampak besar pada keselamatan lalu lintas, mulai dari kecelakaan fatal hingga merusak infrastruktur jalan.
Data Korlantas Polri mencatat, hingga saat ini lebih dari 32 ribu kendaraan telah terdeteksi sebagai pelanggar ODOL, dengan persebaran tertinggi di wilayah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan.
Lantas Mengapa Sopir Truk Berdemo?
Sopir truk tidak sepenuhnya menolak kebijakan Zero ODOL.
Namun ada beberapa tuntutan dari pihak sopir yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah.
Satu revisi yang jadi sorotan mengenai dimensi bak pada berbagai model truk.
Mengingat untuk dimensi yang tidak ODOL, ukurannya terlalu kecil.
Para sopir mengeluhkan persaingan harga yang ada di lapangan.
Para pemilik barang kadang mencari truk dengan biaya semurah mungkin dan bisa mengangkut barang sebanyak-banyaknya.
Kemudian, tuntutan lain adalah mengenai standar upah angkut barang.
Saat ini, upah angkut kendaraan barang di Indonesia masih jauh dari layak.
Belum lagi di jalan raya para pengemudi kerap bertemu petugas yang meminta pungutan liar atau preman.
Zero ODOL Meningkatkan Biaya Angkutan Jalan
Kebijakan Zero Over Dimension Over Loading (ODOL) yang rencananya diberlakukan secara penuh dalam waktu dekat berpotensi menaikkan biaya distribusi nasional secara signifikan.
Hasil penelitian dari Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Trisakti mencatat penerapan Zero ODOL dapat meningkatkan total biaya angkutan jalan hingga Rp 5.990,36 triliun per tahun.
Dosen ITL Trisakti Suripno, mengungkapkan kebijakan Zero ODOL memang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan dan kualitas infrastruktur jalan. Namun, kebijakan ini juga membawa konsekuensi terhadap biaya logistik secara nasional.
"Penerapan Zero ODOL akan menambah jumlah armada truk secara signifikan dan otomatis menaikkan biaya pengiriman," ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (26/5/2025).
Penelitian ITL Trisakti mengungkapkan bahwa rata-rata biaya angkutan truk ODOL per ton per kilometer saat ini berada di angka Rp 1.084,3.
Namun, ketika Zero ODOL diberlakukan, biaya tersebut melonjak menjadi Rp 2.933,8 per ton per kilometer.
Di sisi lain, jumlah truk juga diperkirakan naik sebesar 60,3 persen karena kendaraan harus mematuhi batas dimensi dan muatan.
Data dari Badan Kebijakan Transportasi menyebutkan bahwa sekitar 59 persen kendaraan logistik saat ini tergolong ODOL.
Menggunakan data dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Suripno menyebutkan bahwa pada tahun 2020 terdapat sekitar 7,77 juta unit kendaraan logistik.
Jika Zero ODOL diberlakukan penuh tanpa mitigasi biaya, total biaya distribusi tahunan diperkirakan melonjak hingga Rp 5.990,36 triliun.
“Ini akan sangat mempengaruhi harga barang di tingkat konsumen,” katanya.
Simulasi Lima Skenario Penerapan Zero ODOL
Penelitian tersebut juga mengembangkan lima skenario penerapan Zero ODOL dan dampaknya terhadap biaya distribusi dan harga di tingkat konsumen.
Dalam penelitiannya, ITL Trisakti juga membuat beberapa skenario terkait dampak pemberlakukan Zero ODOL ini terhadap perekonomian. Pada skenario pertama, meneliti kondisi saat ini dimana masih menerapkan ODOL 100 persen.
Total biaya truk mencapai Rp 100,75 miliar per tahun. Angka ini diperoleh dengan memperhitungkan variabel beban jalan, biaya operasional kendaraan, dan jumlah truk pada kondisi existing.
Beban jalan pada kondisi saat ini menggunakan variabel beban jalan keseluruhan dan jumlah berat muatan yang diizinkan (JBI) untuk 5 jenis kendaraan.
Pada skenario pertama ini, perubahan harga di level konsumen hanya naik sebesar 7 persen dalam kurun waktu 8 tahun, sehingga dapat diasumsikan tidak terjadi kenaikan perubahan harga konsumen yang berarti dalam kurun waktu tersebut.
Pada skenario kedua, diterapkan kondisi ODOL diperbolehkan sebesar 30 persen, namun pada kondisi ini diasumsikan total muatan sebanyak 1,3 kali lebih banyak daripada jumlah beban yang diizinkan. Hasilnya menunjukkan total biaya truk pada kondisi ODOL 30 persen ini sebesar Rp 480,13 miliar.
Pada skenario kedua, hasil kajian menyebutkan terjadi perubahan harga pada level konsumen sebesar 57 persen dalam kurun waktu 8 tahun.
Pada skenario ketiga, diterapkan kondisi Zero ODOL dan penindakan dengan 50 persen populasi truk. Hasil penelitian menunjukkan total biaya truk mencapai Rp 1,23 triliun.
Pada skenario ketiga ini, hasil penelitian memperkirakan terjadinya perubahan harga pada level konsumen lebih dari 90 persen dalam kurun waktu 8 tahun.
Hal ini terjadi karena penindakan tidak dilakukan pada seluruh populasi truk, sehingga populasi yang terkena penindakan pelanggaran akan melakukan segala cara agar terhindar dari penindakan.
Hal tersebut dapat menciptakan shadow economy jika tidak ada tindakan dari pemerintah untuk menanganinya.
Pada skenario keempat, diterapkan kondisi Zero ODOL dan dilakukan penindakan dengan 100 persen populasi truk.
Hasil total biaya truk pada kondisi ini mencapai Rp 861,18 miliar.
Pada skenario keempat, diasumsikan terjadi perubahan harga pada level konsumen sebesar 87 persen dalam kurun waktu 8 tahun. Kenaikan inflasi pada skenario keempat ini lebih rendah daripada skenario ketiga dikarenakan meratanya penindakan yang dilakukan.
Sementara, pada skenario kelima, diterapkan kondisi Zero ODOL dan dilakukan integrasi antar moda, di mana dalam hal ini muatan akan dikirim menggunakan truk dan kereta api logistik dengan tujuan untuk mengefisiensikan biaya pengiriman.
Hasilnya, total biaya truk pada kondisi Zero ODOL dengan alternatif integrasi antarmoda (kereta api logistik) hanya sebesar Rp 322,92 miliar.
Pada skenario kelima, diperkirakan terjadi perubahan harga pada level konsumen yang cukup signifikan dalam waktu setahun, yaitu sebesar 40 persen.
Hal itu dikarenakan pada tahun tersebut dilakukan investasi jangka panjang untuk pembangunan kereta api logistik. Namun pada kurun waktu berikutnya, perubahan harga pada level konsumen yang terjadi hanya sebesar 5 persen.
Suripno menyimpulkan bahwa penerapan Zero ODOL belum layak dilakukan dalam waktu dekat tanpa solusi konkret dari pemerintah.
“Jika tidak ada integrasi moda transportasi atau subsidi logistik, kebijakan ini justru bisa memicu inflasi dan memperlambat pertumbuhan sektor logistik nasional,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa saat ini, dari sudut pandang ekonomi, penggunaan truk ODOL memang memberikan efisiensi biaya yang signifikan. Namun, hal ini perlu diimbangi dengan peningkatan keselamatan dan perlindungan terhadap infrastruktur jalan.
“Penerapan Zero ODOL tanpa strategi yang tepat akan menyebabkan jumlah armada truk naik dua kali lipat dan memicu lonjakan harga di tingkat konsumen,” tutup Suripno. (*)
Posting Komentar