Rektor IPB Ingatkan Pemerintah Hindari Kesalahan Serupa di Industri Sawit

Rektor IPB Ingatkan Pemerintah Hindari Kesalahan Serupa di Industri Sawit

wartamoro.com- Masyarakat mengharapkan pemerintah lebih waspada dalam merancang kebijakan pengaturan wilayah hutan, khususnya yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit milik rakyat. 

Rektor Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomomengungkapkan, Indonesia memiliki pelajaran sejarah yang berharga dari kejatuhan industri gula setelah nasionalisasi yang tidak boleh terulang di sektor kelapa sawit. 

Menurutnya, penurunan signifikan produksi gula Indonesia sejak masa nasionalisasi disebabkan oleh tiga faktor utama. Yaitu, kerusakan institusi; ketidaksesuaian sistem insentif; dan ketidakstabilan kebijakan. Sebelum nasionalisasi di pertengahan abad ke-20, industri gula Indonesia termasuk salah satu yang paling kuat di dunia. Konglomerasi terintegrasi seperti Oei Tiong Ham Group menguasai seluruh rantai pasok mulai dari hulu hingga hilir: perkebunan, pabrik gula, distribusi, hingga perdagangan internasional. 

“Saat terjadi nasionalisasi, bukan hanya aset fisik yang berpindah tangan. Struktur organisasi, pengetahuan manajerial, serta lingkungan bisnis juga ikut menghilang,” kata Sudarsono kepada wartawan pada Rabu (12/11).

Penurunan kemampuan tata kelola yang berbasis pada keahlian menyebabkan penurunan drastis dalam efisiensi teknis. Perpindahan pengelolaan dari logika bisnis ke logika administrasi birokratis juga mengaburkan sistem insentif bagi petani dan pekerja, sehingga produktivitas serta kualitas tebu menurun tajam. 

Dia menyebutkan, ketidakstabilan kebijakan mulai dari harga, pembatasan impor, hingga strategi peremajaan pabrik menyebabkan sektor gula kehilangan arah jangka panjang. “Industri gula merupakan industri yang bersifat jangka panjang. Jika kebijakan sering berubah, investasi dan pengembangan kapasitas tidak dapat berlangsung secara terus-menerus,” ujarnya. 

Sebagai perbandingan, Sudarsono menyoroti Thailand dan Brasil yang berhasil mempertahankan stabilitas industri gula dengan mengintegrasikan kebun dan pabrik, menentukan harga berdasarkan rendemen, serta menerapkan mekanisme bagi hasil yang jelas antara petani dan pabrik gula. 

Secara global, produksi gula dunia pada musim 2024/2025 diperkirakan mencapai 175,6 juta ton. Tujuh negara penghasil gula terbesar meliputi Brasil, India, Uni Eropa, Tiongkok, Thailand, Amerika Serikat, dan Rusia. Brasil mampu menghasilkan sebanyak 38 juta ton, sementara India mampu memproduksi 32,8 juta ton.

Selain itu, produksi gula Indonesia tahun ini diperkirakan sebesar 2,6 juta ton, yang masih lebih rendah dibandingkan Thailand yang mencapai 10 juta ton. Indonesia masih perlu melakukan impor gula dalam jumlah besar karena kebutuhan gula nasional mencapai 7,8 juta ton.

Peringatan untuk Sektor Sawit

Pembelajaran dari kejatuhan industri gula Indonesia mengungkapkan bahwa penurunan kemampuan produksi bukan disebabkan oleh masalah teknis, melainkan kesalahan dalam pengambilan kebijakan terkait pengelolaan aset penting. Nasionalisasi yang lebih menekankan kontrol politik daripada kompetensi industri menyebabkan aset berada di tangan pihak yang tidak memiliki kemampuan produksi, sehingga produktivitas menurun dan daya saing nasional melemah. 

"Kondisi ini sesuai dengan kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang berlaku saat ini. Jika aset perkebunan, termasuk kelapa sawit rakyat, dialihkan tanpa memastikan kelangsungan produksi dan kemampuan pengelola, maka Indonesia berisiko mengulangi kesalahan serupa seperti yang terjadi pada industri gula, sehingga kehilangan kapasitas nilai tambah dan melemahkan dasar ekonomi masyarakat." jelas Sudarsono.  

Sampai tanggal 1 Oktober 2025, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menyatakan telah mengembalikan pengelolaan area hutan seluas 3.404.522,67 hektar. Dari luas tersebut, Satgas PKH telah menyerahkan 1.507.591,9 hektar lahan kelapa sawit kepada PT Agrinas Palma Nusantara untuk diurus. 

Sudarsono menegaskan bahwa banyak perkebunan sawit milik rakyat termasuk dalam kawasan hutan secara legal, meskipun telah dikelola bertahun-tahun secara nyata.Ttindakan penyitaan atau pembatasan operasional tanpa dasar yang berkelanjutan berisiko merusak struktur ekonomi setempat.

"Kepemilikan aset tidak secara otomatis menunjukkan kemampuan dalam pengelolaan. Jika aset kelapa sawit dialihkan tanpa memastikan kualifikasi pengelolanya, kita berisiko mengulangi kesalahan masa lalu yang sama seperti yang terjadi di sektor gula," tegasnya. 

Sudarsono menekankan pentingnya empat langkah strategis. Pertama, pemerintah perlu menyelesaikan status hukum lahan sawit rakyat melalui audit legalitas dan riwayat penggunaan lahan yang bersifat transparan. Kedua, membangun kemitraan yang seimbang antara petani dan perusahaan dengan kontrak yang adil, mekanisme harga yang jelas, serta pendanaan yang mudah. 

Ketiga, pemerintah perlu memfokuskan insentif pada peningkatan efisiensi, bukan hanya perluasan area. "Masa pertumbuhan ekstensif telah berakhir. Kita membutuhkan pertumbuhan yang intensif berbasis ilmu pengetahuan," katanya. 

Keempat, negara perlu membangun satu sistem data kelapa sawit nasional yang terpadu, mencakup informasi lahan, kapasitas pabrik, aliran TBS, hingga data ekspor. Tanpa data yang tunggal, kebijakan akan selalu bersifat reaktif dan kurang kuat dalam diplomasi perdagangan internasional.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama