Kontroversi Klarifikasi Fadli Zon Tentang Isu Pemerkosaan Massal 1998 yang Dianggap Hoax

Kontroversi Klarifikasi Fadli Zon Tentang Isu Pemerkosaan Massal 1998 yang Dianggap Hoax

wartamoro.com ,Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali mendapatkan kritik karena komentarnya yang menggambarkan insiden tersebut sebagai pemerkosaan massal Pada tahun 1998 hanyalah berupa rumor semata. Fadli mengungkapkan hal itu saat diwawancarai terkait dengan penyusunan kembali sejarah bersama jurnalis senior dari IDN Times, Uni Zulfiani Lubis.

Tempo Telah disetujui oleh Uni Lubis agar Fadli Zon dapat dikutip dalam hal ini. Awalnya, Fadli menyampaikan bahwa menulis kembali sejarah berarti memperjelas kabar-kabar yang lama kelihatan seperti fakta historis. Selanjutnya, politisi dari Partai Gerindra tersebut menggunakan kasus pelecehan masif sebagai ilustrasi tentang informasi yang ia harap bisa diperbaiki kebenarannya.

"Siapakah yang mendefinisikan pemerkosaan masal? Tidak pernah ada buktinya. Itulah sekadar cerita belaka. Jika memang ada, silakan tunjukkannya; apakah tercatat dalam buku sejarah tersebut?" ungkap Fadli Zon saat wawancara dengan IDN Times yang dirilis melalui saluran YouTube mereka pada hari Rabu, 11 Juni 2025.

Mantan Wakil Ketua DPR RI tersebut juga menyampaikan bahwa dia pernah mencoba para ahli sejarah dengan mengklaim bahwa insiden tersebut sudah dikonfirmasi oleh tim investigatif. Dia menjelaskan, "Saya secara pribadi pernah menyangkal hal ini dan mereka (para penulis kembali sejarah) tidak dapat memberikan bukti." Ungkapan ini disampaikan Fadli.

Aliansi Warga Sipil Meminta Fadli Zon Menarik Kembali Statementnya

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik tajam pernyataan Fadli Zon karena dianggap mencemarkan sejarah dan meminta hal tersebut ditarik serta dilampirkan dengan permohonan maaf. “Ungkapan Fadli Zon ini membuktikan sikap tanpa belas kasihannya terhadap para korban beserta semua wanita yang berperangan bersama mereka,” ungkap Ita F. Nadia dari Tim Relawan untuk Penghentian Kekerasan Terhadap Wanita saat konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Ketidakbertanggungjawaban lewat platform Zoom. Meeting Pada hari Jumat, tanggal 13 Juni 2025.

Nadia menegaskan bahwa Fadli Zon tidak berhasil merumuskan keterkhususan kekerasan seksual jika dibandingkan dengan jenis-jenis kekerasan lainnya. Menurut Nadia, pada insiden yang dilepaskannya, ada tindakan sangat serius di mana wanita etnis Tionghoa diserang dengan sengaja melalui pemerkosaan dan penyiksaaan.

Menurut Nadia, argumen yang mengatakan tak ada bukti nyata tentang kejadian itu adalah sebuah kesalahan besar. Ia menjelaskan bahwa insiden tersebut sudah dikonfirmasi secara formal melalui pembentukan Tim Gabungan Pencarian Fakta oleh Presiden Habibie pada bulan Juli tahun 1998. Selain itu, kasus ini pun termasuk dalam daftar 12 pelanggaran Hak Asasi Manusia serius yang direkam oleh Komisi Nasional untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan kemudian diteruskan kepada Presiden Joko Widodo.

Meski begitu, sampai sekarang banyak korban dan keluarganya masih berjuang melawan trauma. "Pada dua hari terakhir, seseorang yang menjadi korban perkosaan dan kini tinggal di Sydney menghubungi saya. Dia bertanya apakah perlu memberikan kesaksian," ungkap Nadia tentang pembicaraan ulangnya dengan korban kekerasan pada tahun 1998 tersebut.

Amnesty International: Langkah Pemerintah untuk Membenarkan Diri

Amnesti Internasional Indonesia mengkritik pernyataan Menteri Budaya Fadli Zon tentang tragedi pemerkosaan masif selama kerusuhan Mei 1998 sebagai hanya sebatas kabar angin dan menyebutnya sebagai upaya untuk membela diri terhadap catatan gelap di masa lalu dari pemerintah saat itu.

"Mereka berusaha mengelakkan perasaan bersalah, meredakan rasa malu, atau hindari ketidaknyamanan akibat tindakan di masa lalu yang dilakukan penguasa," ungkap Direktur Amnesty International Usman Hamid saat Konferensi Pers Masyarakat Sipil Menentang Kekatalah Bebas dari Hukuman lewat platform Zoom. Meeting pada Jumat.

Dia menyebutkan bahwa pernyataan Fadli mereduksi salah satu bencana yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998 tersebut mendukung dugaan aktivis bahwa upaya merevisi sejarah nasional oleh pemerintah berpotensi membuang-buang bukti buruk dari rezim lalu, termasuk Presiden Prabowo Subianto.

Menurut Usman, pandangan yang mengatakan tak adanya bukti nyata tentang insiden tersebut merupakan kesalahan besar. Ia menyebut bahwa dari sudut pandang bahasa, gosip hanyalah sebuah cerita atau informasi yang tersebar luas dalam masyarakat dan belum tentu memiliki dasar fakta yang valid. Sebaliknya, kejadian tersebut telah diperiksa keakuratannya berkali-kali oleh beberapa lembaga pemerintah terpercaya.

Pihak berwenang yang menyetujui kejadian tersebut meliputi Tim Gabungan Pencari Fakta yang didirikan oleh Presiden Habibie pada bulan Juli tahun 1998. Selain tim ini, persetujuan juga diberikan oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan, Komandan Tentara Nasional Indonesia, Menteri Hukum, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Urusan Perempuan, serta Ketua Mahkamah Agung.

Bukan hanya itu saja, peristiwa tersebut pun diterima oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia alias Komnas HAM karena menggolongkannya sebagai salah satu dari 12 kasus pelanggaran HAM serius yang seharusnya diproses hukum. “Kelompok-kelompok ini didirikan oleh institusi formal dan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang,” jelas Usman.

Selanjutnya, Usman menyangkal klaim dari Menteri Kebudayaan yang menyatakan bahwa narasi tentang pemerkosaan masal pada masa lampau tak dapat digunakan sebagai bukti di persidangan. Menurut Usman, dalih tersebut menjadi tidak sah karena pemerintah sendiri belum pernah membangun pengadilan untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia serius.

Usman menyarankan bahwa alih-alih menghilangkannya dari catatan sejarah, pemerintah harus menyelenggarakan pengadilan tersebut. Menurutnya, langkah pertama yang harus diambil pemerintah adalah mendirikan suatu mahkamah Hak Asasi Manusia atau jenis pengadilan lainnya guna menganalisis seluruh laporan serta bukti-bukti berkaitan dengan kasus pelecehan seksual masif itu." katanya demikian.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama