
wartamoro.com, Tahun 1898 menjadi saksi peristiwa penting dalam bidang arkeologi dan keagamaan ketika suatu temuan besar mencengangkan publik. Terjadi di Piprahwa, sebuah desa yang terletak di bagian utara India dekat perbatasan Nepal, William Claxton Peppé—a seorang bangsawan asal Inggris—instruksikan untuk melakukan penggalian di situs monumen purba tersebut.
Apa yang ditemukannya tidak hanya merupakan artefak biasa, tetapi juga harta karun yang dipercaya berasal langsung dari Sang Buddha: abu, fragmen tulang, serta lebih dari 1.800 batu mulia bersinar.
Meskipun demikian, hampir dua abad setelahnya, penemuan suci tersebut malah menjadi sumber perdebatan di kancah internasional. Perusahaan pelelangan terkemuka, Sotheby’s Hong Kong, bersiap untuk menjual lebih dari 300 batu mulia yang berasal dari kumpulan tersebut pada tanggal 7 Mei 2025. Tindakan ini pun mendapat kecaman keras dari para pakar, tokoh agama Buddhisme, serta pihak berwenang India.
Warisan Rohani Global Tidak Terjual
Kementerian Budaya India dengan jelas mengungkapkan penolakannya lewat pos di Instagram:
Artikel suci ini merupakan bagian dari warisan spiritual dan budaya India serta masyarakat Buddhis di seluruh dunia," demikian tertulis dalam teks tersebut. "Pelelangan barang ini bertentangan dengan undang-undang India, standar internasional, dan kesepakatan PBB.
Pernyataan tersebut dilengkapi dengan gambar dari surat rasmi yang dikirim ke Sotheby's, memintanya untuk mencabut pelelangan, mengembalikan benda bersejarah kembali ke India, menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, dan memberikan semua dokumen tentang sejarah kepemilikan barang tersebut.
Sotheby's merespons dengan mengatakan bahwa mereka "sedang memberikan perhatian lengkap pada masalah ini." Meskipun demikian, lelang akan tetap dilangsungkan seperti direncanakan, dengan nilai tawaran awal kira-kira 1,3 juta dolar AS, sesuai laporan Richard Whiddington dari Artnet.
Permata, Abu, dan Tulang Sang Buddha
Barang-barang pusaka ini ditemukan di dalam sebuah stupa atau monumen pemakaman Buddha, yang diyakini oleh para ahli arkeologi telah direnovasi pada masa 240 SM. Dalam ruangan berbentuk kubah di lokasi tersebut, ditemukan satu kotak batu pasir yang memuat lima buah wadah penyimpan reliksukses—tempat menyimpan benda-benda sakral. Didalamnya terdapat abu, fragmen tulang, serta ribuan butiran permata seperti mutiara, ruby, safir, sampai topaz.
Satu reliquiarium mempunyai prasasti singkat yang menyatakan bahwa kerangka tersebut mungkin berasal dari Sang Buddha. Pada masa itu, pihak kolonial Britania mengklaim penemuan ini sesuai dengan "Indian Treasure Trove Act" tahun 1878. Kemudian, reliksi tulang diberikan kepada Raja Siam, sedangkan mayoritas emas dan perhiasannya didonasikan untuk museum di Kolkata.
Bagian yang akan ditawarkan lelang merupakan "versi mini" yang boleh dipertahankan oleh keluarga Peppé, seperti ditegaskan oleh Chris Peppé, cucu buyut William Claxton Peppé, orang yang menerima barang-barang tersebut pada tahun 2013.
Siapa yang Berhak Memiliki?
Berdasarkan catatan historis, sesudah batu mulia tersebut ditemukan, penguasa koloni Britania mengklaimnya dengan undang-undang yang tengah efektif waktu itu. Kebanyakan dari benda ini dikirimkan kepada sebuah museum di Kolkata serta Kerajaan Siam (Thailand); akan tetapi, bagian kecil lainnya terus dipertahankan oleh keturunan Peppé.
Chris Peppé, cucu dari William Peppé, menerima warisan berupa batu mulia tersebut bersama dengan kedua sepupunya pada tahun 2013. Sejak saat itu, mereka telah menampilkan barang-barang ini di berbagai museum dunia dan kini berniat untuk melelangkannya.
Tetapi banyak pihak yang tidak sependapat.
"Permata tersebut, sama seperti abu dan tulang, adalah milik Sang Buddha. Sebaiknya tidak dijual kepada pembeli yang menawarkan harga tertinggi," demikian ditulis oleh dua sejarawan seni Buddha dari Universitas SOAS di London, Conan Cheong dan Ashley Thompson.
Mereka pun berpendapat bahwa transaksi tersebut seolah-olah meneruskan jejak kekerasan kolonial.
Akan tetapi, Chris Peppé menyangkal hal tersebut. Menurutnya, para pemeluk Buddhanya tidak memandang batu mulia itu sebagaimana anggota badan sang Buddha.
Kelompok kecil itu terdiri dari beberapa ahli di universitas-universitas barat," katanya kepada BBC. "Ini bukanlah pendapat mayoritas bagi para pemeluk Buddha yang mengerti tentang sejarahnya.
Permintaan dari Kamboja
Tokohnya Buddha asal Kamboja, Yon Seng Yeath, turut mengeluarkan pernyataan. Dia menjabat sebagai ketua kuil Wat Ounalom serta rektornya sebuah universitas Buddhisme yang berlokasi di Phnom Penh.
Kami tidak harus menjual barang yang dipuja oleh banyak pihak," ujarnya. "Barang-barang tersebut lebih baik disimpan di pagoda atau museum, di negeri manapun yang diperhitungkan oleh sang pemilik.
Cerita ini tak sekadar tentang batu berharga atau harta materi. Ia menggali cara dunia menilai peninggalan budaya dan rohani. Adakah barang-barang keramat tersebut bisa menjadi milik perseorangan yang dapat diperdagangkan? Atau semestinya kembali kepada sumber aslinya untuk menyampaikan hormat?
Jelaslah, debat tersebut mengajarkan kita kembali bahwa harta karun sejarah tidak hanya terdiri dari barang-barang bekas. Sebaliknya, mereka merupakan elemen penting dalam identitas, keyakinan, serta rasa penghargaan miliaran manusia di planet ini.
Posting Komentar